Refleksi Muharram: Dua Cahaya


            Muharram merupakan sebuah penanda dimulainya spirit dan tekad baru khususnya bagi umat Islam sedunia. Kata Hijriyah yang berakar dari Hijrah merupakan simbol tekad orang-orang muhajirin di zaman Rasulullah yang berkelana dalam rangka dakwah serta menjalin ukhuwah Islamiyah dari satu kampung ke kampung yang lain. Perpindahan ini juga menyiratkan keluarnya mereka dari lubang kesesatan menuju sumber cahaya yang menerangi hati-hati yang gersang akan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya. Momen ini justru mengembalikan ingatan saya beberapa tempo yang lalu. Saya yang datang ke sebuah kecamatan yang tidak terlalu luas dan tidak pula terlalu kecil membawa sebuah cahaya dengan harapan cahaya itu akan menerangi dusun-dusun yang berada didalamnya. Cahaya itu bernama Ummi Nur Hidayani, “Nur” yang datang dari sebuah rumah mimpi yang didalamnya tertata mimpi-mimpi para penghuninya tak ingin mimpi itu hanya sebatas didalam rumahnya saja. Namun, beliau ingin mimpi-mimpi itu akan sampai kepada sebuah peradaban kecil di kecamatan yang bernama dukun itu sehingga akan muncul peradaban besar yang lahir dari para pejuang-pejuang didalamnya. Saya yang menjadi bagian dari mimpi itu datang bersama “Nur” sangatlah berharap datangnya kami akan menjadi pelita baru ditengah gelapnya dusun itu.
            Awalnya, kami mengira bahwa dusun yang terletak di daerah Magelang itu sangatlah jauh dari kata “terang”. Namun prasangka ini sungguh keliru, dusun yang masih terletak di bawa lereng kaki gunung itu ternyata sangatlah “terang” bahkan bukan hanya “terang” untuk dirinya sendiri tapi mampu “menerangi” dusun-dusun yang berada disekitarnya. Saya kemudian sangat yakin bahwa cahaya akan selalu dipertemukan dengan cahaya. Tak peduli sebanyak apapun kegelapan dan kegelisahan yang akan menghadang, saya selalu percaya bahwa diujung kegelapan ada seberkas cahaya yang telah menanti cahaya yang kita bawa. “Nur” kebaikan akan selalu berakhir pula dengan “Nur” kebaikan begitulah yang Allah paparkan dalam Ar-Rahman-Nya, Apakah ada yang pantas (untuk) balasan kebaikan selain kebaikan (pula) ?. Maka itulah yang mempertemukan dua cahaya dengan pelitanya yang begitu menyejukkan.
            Sesampainya kami dikecamatan itu, saya dengan Ummi mengunjungi cahaya yang dimaksud oleh Ummi sejak awal kita berangkat. Saya dengan penuh rasa heran tak sabar untuk sampai kepada sumber cahaya tersebut. Hingga pada akhirnya kami dipertemukan dengan sebuah cahaya yang ternyata sinarnya lebih terang dari apa yang saya bayangkan. Cahaya itulah yang kami panggil dengan Bu Nur Barokah. Semua terasa terskenario dengan indahnya, rentetan takdir yang diciptakan-Nya memilih saya untuk menemani pertemuan dua cahaya itu. Bu Nur yang merupakan pribumi penduduk kecamatan dukun ini merupakan seorang wanita hebat yang pernah saya temui setelah Ummi Nur. Berkat kegigihan dan semangat beliau untuk terus memperjuangkan nasib umat Islam di kecamatan yang salah satu dusunnya berisi 114 KK(Kepala Keluarga) yang telah terjebak dalam pengaruh kristenisasi dan hanya 9 KK yang bertahan untuk menjadi muslim itu melahirkan sebuah pesantren peradaban baru. Pesantren itu dinamai dengan Pondok Pesantren Al-Barokah, dengan harapan hadirnya pesantren tersebut dapat menjadi berkah bagi masyarakat yang hidup disekitarnya. Bu Nur yang berpenampilan sangat sederhana, pada awalnya saya mengira bahwa beliau hanya orang pasar dan ibu rumah tangga biasa. Dari cara beliau berbicara dan menyambut kami akan sangat sulit dipercaya khususnya bagi orang awam seperti kami bahwa kiprah dan kontribusinya sangatlah luar biasa. Kalau saya boleh berpendapat bahkan sekelas lurah yang telah hidup bertahun-tahun lamanya di dusun tersebut pun mungkin tidak akan mampu menyamai kebaikan yang ada pada diri beliau.
            Melihat besarnya keberkahan yang ada di PP Al-Barokah ini dengan sosok seorang Bu Nur ini mengingatkan saya kepada Gontor dengan pendirinya. Bahkan, Pak Zar yang termasuk salah satu pendiri Gontor pernah bersumpah, ” Ya Allah jika tempat tinggalku lebih baik, lebih nyaman dari tempat tinggal santri-santriku maka turunkanlah laknatmu atas kami sekarang juga”. Inilah yang tersirat difikiran ketika melihat begitu sederhananya rumah Bu Nur, jauh dari keadaan pondok yang dibangunnya. Bu Nur sebenarnya bukan termasuk orang yang berada, namun berkat keberaniannya menyebarkan nilai-nilai Islam akhirnya banyak masyarakat yang antusia. Sebenarnya, Bu Nur tidak memiliki modal apa-apa dalam berdakwah, ilmu agama pun dia masih belajar dan tidak mampu jika disuruh untuk mengajar. Namun, satu hal hebat yang dimiliki beliau ialah dalam hal diplomasi. Menurut saya, beliau ialah diplomat terhebat yang pernah saya kenal. Karena kepiawaiannya dalam tawar-menawar (karena beliau memang orang pasar) beliau berhasil untuk mengajak masyarakat yang merasakan keresahan yang sama dengan yang beliau rasakan yakni keawaman masyarakat terhadap Islam sehingga dimanfaatkan oleh orang Kristen untuk melakukan kristenisasi. Antusias ini semakin lama semakin besar, sehingga pada puncaknya berdirilah sebuah pondok pesantren yang dibangun dengan pondasi keikhlasan serta pengorbanan para waqifnya.
            Inilah spirit dua cahaya di bulan muharram yang menjadi refleksi terbaik saya disepanjang tahun ini. Nilai-nilai keislaman ternyata tumbuh dan berkembang semakin subur. Terkadang diri ini merasa malu semalu-malunya karena segala fasilitas dan kemampuan yang sangat memadai namun tidak mampu memaksimalkan segala kemampuan yang ada, sedangkan ada saudara muslim kita dibelahan bumi yang lain selalu bersyukur serta berjuang demi tegaknya panji-panji keislaman. Cambukan sekaligus pelajaran yang berharga bagi saya bahwa tidak ada ruginya memperjuangkan Islam. Selama niat kita lillah, tekad kita fillah, serta setiap amal kita bismillah, In Syaa Allah tidak akan ada kesulitan yang menghampiri kita, akan selalu hadir kemudahan-kemudahannya yang senantiasa menaungi jauhnya perjalanan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berhijrah bersama Al-Qur’an

Yang Utama Itu Taqwa