Quitters are Looser
“Fact is a
selected reality” begitulah bunyi salah satu kaidah dalam metode penelitian
sosial. Fakta bermula dari realitas yang terseleksi oleh berbagai pertimbangan
alam, kesepakatan manusia, dan tentunya takdir Allah SWT. Saya baru benar-benar
memaknai betapa fundamentalnya peran masjid didalam sebuah peradaban
masyarakat. Dulu sewaktu dipesantren, kami dan para santri selalu diajarkan
oleh pak Kyai bahwa masjid ialah titik pusat yang menjiwai pesantren. Namun
ketika pergi ke masjid, perasaan dan jiwa itu tidak benar-benar menghampiri
hati kami. Santri belum sampai kepada tahapan bahwa masjid merupakan serpihan
surga-Nya yang jatuh ke muka bumi, sebagai perantara si hamba dengan sang
Penguasa. Tapi hal yang berbeda saya temui disebuah masyarakat, saya baru paham
apa makna tersirat dari masjid sebagai titik pusat yang menjiwai. Singkatnya,
inilah pembahasan pada artikel kali ini.
Namanya
Baiturrahim yang kurang lebih artinya rumah penuh kasih sayang, kedamaian, dan
keharmonisan. Kasih dan sayang ini maknanya sifat “Rahim” Allah SWT.
Para mufassir sepakat bahwa sifat “Rahim” Allah hanya khusus
diperuntukkan kepada umat muslim sedangkan sifat “Rahman” Allah meliputi
seluruh semesta alam, baik muslim ataupun kafir. Maka harapan bapak Sugiyarto
selaku pewakaf dari masjid ini adalah menjadikan Baiturrahim tempat paling
nyaman untuk kembali kepada kasih sayang-Nya. Hal ini bukan tanpa sebab,
Sidokabul yang menjadi kampung dari masjid ini memiliki masa lalu yang begitu
kelam. Kelamnya mungkin hampir sama seperti Kauman lama, Nitikan, dan Kota Gede
yang kental dengan label “abangan”. Masyarakat yang gemar berjudi,
mabuk-mabukan, hingga prostitusi lengkap dikampung ini. Letaknya yang strategis
pun seolah menjadi salah satu “keuntungan” bagi masyarakat didalamnya untuk
terus melanggengkan segala praktik amoral. Tidak hanya itu, abangan selalu
identik dengan kesyirikan. Tak sedikit pula masyarakat yang kemudian pergi
berdukun, memasang sesajen di depan rumahnya. Saya kira hal-hal seperti ini
sangat wajar terjadi dimasa lampau begitupulah yang terjadi di Sidokabul, salah
satunya bisa diidentifikasi dari beberapa rumah sera peghuninya yang masih terlihat
kental “kejawennya”.
Cukup dengan masa
lalunya kawan, itu bukanlah fokusnya... Yang menarik untuk dilihat ialah
bagaimana masyarakat bertahan dalam perubahan. Perubahan memang perlu kita
apresiasi, namun bertahan dalam perubahan adalah hal yang mutlak untuk kita
fasilitasi. Begitulah yang terjadi saat ini, fenomena hijrah memberikan dampak
yang cukup signifikan pada masyarakat Sidokabul. Singkatnya, saya menjadi salah
satu bagian dari masyarakat itu. Kurang lebih hampir 3 bulan saya tinggal di
masjid ini. Bertahan bersama orang-orang yang juga bertahan memang tidak mudah.
Diawal saya selalu merasa ingin keluar dan mencukupi status saya sebagai “penjaga”
masjid ini. Namun saya menyadari, kebaikan tidaklah cukup hanya dengan
diniatkan perlu ada aktualisasinya. Jadi jangan mengira “ahlul masjid” atau
orang yang sering menyambangi masjid adalah orang-orang yanga baik, suci, dan
sebagainya. Justru mereka adalah orang-orang yang mau untuk berubah menjadi
lebih baik, karena kebaikan adalah proses bukan hasil. Sehingga orang akan
terus berbuat baik karena perasaan dirinya yang belum baik dan kemudian
lahirlah kebaikan dari orang tersebut dimata orang lain, inilah yang disebut
sebagai prosess. Padahal banyak sekali keburukan orang tersebut yang Allah SWT
tutupi, namun karena kebaikanlah yang ingin ditampilkannya Allah permudah itu.
Menjadi asmes atau
asisten masjid (sebutan takmir untuk saya) tidaklah mudah. Saya mendapat
pandangan baru dalam menjalani kehidupan sebagai seorang mahasisswa. Diawal
saya selalu negative thinking tentang banyaknya jobdesk yang
diberikan dari ini lah itulah bahkan hingga berbagai macam keluhan dari jama’ah,
ini semua saya fikir akan sangat menganggu program studi yang saya jalani. Saya
lalu teringat pada kata-kata Prof. Ericsson dalam mahakaryanya yang berjudul “Peak”,
“Learning isn’t a way of reaching one’s potential but rather a way of
developing it. We can create our own potential”. Jadi belajar adalah
bagaimana kreativitas kita dalam mengembangkan kapabilitas kita dalam situasi
apapun. Inilah yang disebut Prof. Ericsson sebagai “Deliberate Pratice”
tetap belajar dan bertahan didalam situasi sesulit apapun dengan konsisten.
Itulah yang sedang saya pelajari di masjid ini, bertahan dan berkembang. Maka
orang-orang yang mau bertahan ialah para pemenang yang sesungguhnya, sedangkan
yang memilih mundur dan keluar terkadang bukan berarti mereka adalah orang yang
kalah namun bisa jadi mereka adalah orang yang bertahan dalam pencarian, lalu
siapa yang kalah ? Merekalah orang yang tidak memilih keduanya, tidak mau
bertahan, quitters are looser.
Komentar
Posting Komentar