Bang Rak: Antara Bangkok mosque, Charoen Krung, dan Haroon Mosque







            Manusia membutuhkan energi yang sarat dengan zat karbohidrat untuk memberikan tenaga kepada mereka agar mampu mengerjakan aktivitas sehari-hari. Apalagi seorang muslim, mereka bukan hanya membutuhkan makanan dan minuman seperti halnya orang pada umumnya, namun muslim membutuhkan makanan dan minuman yang halal agar energi yang masuk ke tubuh mereka hanya digunakan untuk berbuat kebaikan. Maka, seorang yang mengaku Islam tidak akan memakan apapun kecuali yang halal dan diizinkan oleh Allah SWT. Sebagaimana aku yang saat ini hidup di negara non-muslim, setiap langkah yang kutapaki di bangkok ini harus kupastikan bahwa ia tak akan mengantarkanku kecuali kepada apa-apa yang dihalalkan-Nya.
            Menemukan makanan yang halal di negeri ini bagaikan mencari-cari serpihan kepingan logam di dalamnya lumpur, tidak mudah namun bukan berarti susah. Bahkan ketika sudah ketemu pun ternyata yang menjadi tantangan selanjutnya adalah jarak. Mereka yang menjual makanan halal biasanya terletak di tempat yang agak jauh dan cukup sulit untuk dijangkau. Tantangan berikutnya sebagai mahasiswa, setelah jarak yang jauh adalah kesesuaian harga dengan isi dompet, hehe. Apesnya adalah ketika makanan halal itu dijual di restauran yang tidak murah, tentu sebagai mahasiswa akan berfikir ribuan kali untuk membelinya. Hingga suatu ketika video yang dibuat oleh Mark Weins itu (baca tulisan sebelumnya) membuatku ingin sekali pergi ke tempat murah yang menjual makanan halal.
            Di videonya, Mark menyarankan agar pergi kesana pada hari jum’at karena pada hari itu banyak penjual makanan yang menjual berbagai makanan dan tentunya dengan harga yang terjangkau. Maka aku pun bergegas untuk kesana pada hari Jumat. Sekitar pukul 10.30 waktu bangkok aku mulai berangkat dari tempat tinggalku di daerah Phra Pin Klao. Kami belum tau jalur mana yang harus ditempuh, maka google map lah tempat terbaik untuk bertanya. Kami pun diarahkan untuk mengambil bus nomor 35 dan turun di Bang Rak district. Namun sayangnya, bus stop nomor 35 tidak ada di sekitar tempat tinggal kami. Singkatnya kami terpaksa order grab yang harganya 7 kali lipat dibanding naik bus kota. Bukan karena apa-apa, waktu shalat Jumat yang harus kami kejar “menganjurkan” kami untuk menaiki kendaraan besi cepat itu.
            Kami membelot dari tujuan awal kami yaitu Haroon Mosque. Karena waktu yang tidak memungkinkan untuk shalat Jumat, akhirnya kami mencari masjid yang tidak jauh dengan Haroon mosque, dan Bangkok mosque lah jawabnya. Beruntungnya, kami mendapat supir grab yang sangat ramah alias berbeda dengan orderan kami yang sebelum-sebelumnya. Karena pengertiannya terhadap ketergesaan kami mengejar waktu, akhirnya diamemaksimalkan kecepatannya. Pukul 12.15 kami sudah sampai di Bangkok mosque, karena letak masjid yang berada di gang sempit dimana mobil tidak bisa masuk, kami pun turun di dekat gang itu dan berjalan.
            Bangkok mosque tak seperti masjid yang kubayangkan, walau masjid ini memang besar namun letaknya yang tersembunyi menjadikan masjid ini terkesan eksklusif. Padahal namanya “Bangkok Mosque” namun jamaahnya kebanyakan orang India dan Pakistan. Mungkin karena memang kebanyakan masjid di Bangkok mendapat tanah yang tidak terlalu luas, sehingga tempatnya menjadi tidak strategis dan tersembunyi, walhasil orang yang tahu hanyalah mereka yang mau mencari dan sering berkunjung ke masjid ini. Masjid ini resmi dibangun pada 25 Agustus 2006 oleh asosiasi tamil muslim di thailand. Karena masjid ini didominasi oleh muslim India-Pakistan, maka khotib menggunakan bahasa urdu ketika menyampaikan khutbahnya. Setelah shalat Jumat aku pun turun dari lantai 2 (karena shalat dilaksanakan dilantai 2) dan kagetnya bukan main, anak-anak telah menunggu jamaah di bawah, mereka adalah peminta-minta. Sungguh pemandangan ini  tak biasa bagiku, anak-anak ini dipekerjakan oleh ibu mereka untuk mengemis kepada jamaah. Tampak seorang ibu membawa 10 anaknya dan membiarkan mereka bertebaran di pelataran masjid. Rasa kasihan sekaligus miris menyelimuti perasaanku, tentu Islam tak menghendaki ini terjadi.
            Setelah shalat jumat, aku dan temanku bergegas ke tujuan awal kita, haroon mosque !. Rasa lapar dan haus yang telah sejak tadi kami tahan demi menikmati kuliner di kompleks haroon mosque akhirnya tiba juga untuk meluapkannya. Tak kurang dari 750 meter kami harus berjalan menyusuri padatnya lalu lintas di Bangkok. Sampai kami tiba di sebuah gang besar, terlihat dari kejauhan Kantor Kedutaan Prancis yang berarti tujuan kita berada di seberangnya. Aku pun masuk dan terlihat dengan megahnya sebuah pamflet bertuliskan tinta emas dengan ciri khas tulisan thailand dan alfabet, “Haroon Mosque” menandakan kami sudah sampai di tujuan. Dari ujung kompleks hingga ke ujungnya, deretan penjual muslim berlimpah ruah, mulai dari jajanan pasar hingga makanan berat dijualnya. Ada satu makanan yang ditayangkan dalam video Mar Weins yang ingin sekali aku cicipi, yakni Nasi Briyani. Aku pun mulai menyusuri jalanan di gang ini, hingga akhirnya aku menemukan lokasi persis yang sama dengan yang ada di video. Sayangnya, aku hanya menemukan penjual roti mataba disitu (roti khas thailand seperti martabak di Indonesia tapi manis asam), lalu aku tanyakan ke penjual roti itu, “Briyani rice, where ?” lalu dia menjawab, “Oh its only open on Friday until 11 pm, its already close..” dalam hati aku pun kecewa. Namun Allah selalu memberikan hasil atas usaha hambanya, Dia tak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Sampai akhirnya aku bertemu nenek Uma dan beliau memberiku nasi dengan masakan khas Thai yang enak (baca cerita sebelumnya). Lalu aku membeli Thai tea yang enak sekali milik cucu nenek uma, keluarga beliau memang kebanyakan menjadi seorang pedagang. Perpaduan antara sosis dan nasi nenek uma serta Thai tea milik cucunya melengkapi kunjunganku ke kompleks haroon mosque.
            Tak terasa adzan ashar pun terdengar, “allahu akbar, allahu akbar...” menggema hingga ke penjuru kompleks ini. Ternyata aku baru tersadar kalau disetiap sudut gang ini ada speaker yang terhubung dengan towa masjid. Pemandangan yang luar biasa, saat adzan bergema seluruh penjual menutup warungnya dan mulai bergegas untuk pergi ke masjid, ah indahnya.. Haroon mosque menjadi satu-satunya masjid di kompleks ini, sehingga warga berduyun-duyun melangkah pergi ke masjid. Masjid ini mendeksripsikan bagaimana imigran muslim yang berpindah ke Bang Rak ini bertahan hidup hingga saat ini. Termasuk si ibu yang menjual nasi briyani yang ingin aku cicipi itu, ibu tersebut ternyata adalah imigran dari muslim rohingnya yang hingga saat ini menetap di Bang Rak.
            Pada tahun 1837, seorang musafir sekaligus pedagang keturunan Indonesia-Arab bernama Musa Bafadel tiba di Bang Rak, Bangkok tepatnya di sebuah desa bernama Ton Samrong. Musa memiliki tiga orang anak; Harun, Utsman, & Ishaq. Anak-anaknya ini kemudian mewarisi tekad ayah mereka untuk bersafar, Utsman pergi ke malaysia, Ishaq merantau ke Cambodia, dan sisanya harun menetap di Ton Samrong hingga memiliki keturunan disana. Di tahun 1893, Harun mendirikan masjid di Ton Samrong namun karena pemerintah Thailand melihat bahwa lokasi masjid tersebut ternyata adalah rumah adat warga, maka pemerintah memindahkan lokasi masjid ke tempat yang saat ini aku berdiri dihadapannya, tepatnya di Jalan Charoen Krung masih di daerah yang sama, Bang Rak. Dan pada tahun 1934 masjid ini diperbarui oleh anak dari Harun, Muhammad Yusuf. Masjid ini memang tidak lebih besar dari Bangkok Mosque, namun entah kenapa aku merasa lebih nyaman shalat disini. Jamaahnya pun bervarian, ada yang asli penduduk Bang Rak, ada pula imigran yang menetap disana. Bukan hanya itu, masjid ini dilengkapi pula dengan perpustakaan yang menyediakan buku-buku literasi Thai dan inggris. Memang begitulah seharusnya masjid, ia bukan sekedar tempat untuk beribadah namun ia adalah madrasah yang akan membentuk peradaban yang luar biasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berhijrah bersama Al-Qur’an

Yang Utama Itu Taqwa

Refleksi Muharram: Dua Cahaya