Bang Rak: Tentang Cinta dan Nenek Uma
Bangkok memang
salah satu kota terpadat di Thailand, mungkin bolehlah dimiripin sama Jakarta.
Tapi semacet-macetnya bangkok tidak lebih macet dibandingkan Jakarta. Sudah
hampir satu minggu kami tinggal disini, hiruk-pikuknya bangkok membuatku dan
temanku merasa jenuh dengan lingkungan yang seperti ini. Oh iya, aku belum
menjelaskan siapa aku dan temanku serta mengapa kita disini. In syaa Allah di
kesempatan yang lain aku akan menulis tentang bagaimana aku bisa sampai di
Bangkok.
Sebagai seorang
muslim dan dibesarkan di negara yang mayoritas tentu akan berbeda ketika
berpindah ke negara minoritas. Perpindahan ini awalnya mungkin akan menyebabkan
“shock culture” atau gagap terhadap budaya baru namun semakin lama mereka yang
beradaptasi dengan lingkungan ini akan memahami realitanya dan tidak menutup
kemungkinan perubahan ini akan mempengaruhi kepribadiannya menjadi seorang yang
lebih bijaksana, (tapi tetep tergantung orangnya lho ya, hehe). Thailand yang
mayoritasnya penganut Buddha menjadikan bangkok sebagai kota yang dipenuhi
dengan candi. Kalau kalian lihat di google map, kalian bakal banyak menemukan
awalan kata “Wat” di area sekitaran Bangkok yang berarti candi. Lalu kenapa ?
ya karena buddhist mayoritas, penganut agama lain menjadi minoritas, termasuk
muslim. Sehingga yang biasanya di Indonesia sering mendengar adzan 5 waktu
shalat, disini sayup-sayupnya pun sama sekali tak terjamah. Bahkan jika di
Indonesia tiap beberapa ratus meter pasti akan ketemu dengan masjid, disini
harus jalan berkilo-kilo dulu baru akan ketemu masjid yang biasanya terletak di
ujung gang sempit. Adzan dengan lantunannya yang bervariasi tentu akan sangat
aku rindukan, selain sebagai panggilan shalat pesan tersiratnya meneduhkan hati
siapapun yang mendengarnya dengan atau tanpa memahaminya. Inilah yang
membangkitkan naluriku sebagai seorang muslim untuk menjelajahi masjid di
Bangkok.
Awalnya aku hanya
menonton sebuah video di YouTube yang diunggah oleh seorang vlogger muslim asal
Pakistan, Mark Weins namanya (thanks mark J). Karena poster contentnya dengan judul “Muslim Halal Street Thai
Food” terlihat menarik, maka aku click dan tonton. Ternyata vlog itu dibuat di
salah satu kompleks muslim di daerah Bang Rak, Bangkok. Kompleks itu adalah
sebuah perkampungan muslim yang warganya aktif memakmurkan masjid sekaligus
menghidupi keluarganya dengan berjualan. Setelah aku coba search di google,
jaraknya tak terlalu jauh dari tempat yang aku tinggali yakni sekitar 8 – 9 km.
Maka tanpa fikir panjang, hari Jumat pagi aku harus berangkat kesana.
Tak butuh waktu
yang lama, akhirnya aku menemukannya. Menemukan perkampungan ini serasa
berhasil menemukan harta karun yang tiada kiranya di tengah glamornya kehidupan
bangkok. Gapura bertuliskan “haroon mosque” menyegarkan keringnya iman kami
selama seminggu ini. Deretan penjual yang berkerudung dari awal gapura hingga
ujung sana tak biasa bagi kami, sungguh pemandangan yang luar biasa.
“Assalamu’alaikum...” salam yang terucap dari seorang lelaki tua selepas
beberapa langkah memasuki gang yang tak terlalu besar ini melunakkan kerasnya
hatiku. Budaya saling menyalami memang sangat biasa di perkampungan ini,
minoritas ini bagiku bagaikan beningnya mutiara ditengah derasnya arus samudra
bangkok. Hingga di penghujung jalan, kulihat seorang wanita paruh baya
melontarkan senyumnya kepada kami seakan tahu bahwa kami adalah orang asing.
Karena tertarik dengan makanan yang dijualnya aku dan temanku pun sepakat untuk
menghampirinya.
Namanya nenek Ummu
Salamah atau biasa dipanggil "Uma". Awalnya kami mengira kalau nenek
uma lah yang menjual makanan ini, namun ternyata beliau hanya “dipasrahi” untuk
menjaga sementara warung milik keponakannya. Beliau merupakan warga asli Bang
Rak yang sejak dulu sudah terlahir sebagai seorang muslimah. Makanan yang dijual
adalah jajanan sosis, dengan modal bahasa Thai ku yang pas-pasan aku bertanya,
"Pi... Ni tao rai ?" (Nek... How much is this ?) Si nenek langsung menanggapiku
dengan bahasa Inggris, "Ten bath, ten bath, but this one is fifteen
bath" sambil menunjuk sosis ayam yang paling besar. Lalu saya membeli 2
macam sosis, sambil membakar sosis itu si nenek mengobrol dengan kami,
"Where do you come from ?" lalu dengan kompak kami menjawab, “We are
Indonesian..” lalu si nenek tersenyum dan berkata, “Oh its not too much, only 1
ringgit but many rupiah right..” lalu kami pun tertawa, sebenarnya memang benar
sih apa yang dikatannya, rupiah terlalu banyak nol-nya, hehe, but its okay.
Lalu aku bertanay lebih lanjut kepada nenek, “Are all people who live here
muslim ?” dengan sigapnya nenek menjawab, “Yes of course, we are muslim, we
pray to Allah SWT and we believe that He never leave us even in the dark.” Aku
terkesima dengan kuatnya aqidah beliau, begitupun masyarakat disini. Ketika
sosis telah matang, nenek lalu mengambil plastik dan memberikan kepada kami,
“You can take the sauce as much as you want” kami tersenyum dan mulai mengambil
sausnya. Sembari kami mengambil saus, nenek lalu mengambil nasi dagangannya dan
memasukkannya ke plastik, “You take this rice for you two..” lalu aku kaget dan
berkata, “No uma, we should pay for these..” tapi nenek menolak dan berkata,
“No no this is free for you...” akhirnya kami pun mendapat tambahan nasi gratis
dari si nenek. Tak mau membebaninya, aku membeli lagi sosisnya, “Okey.. one more
please..” si nenek memanggangkan satu sosis lagi untukku, aku beri selembaran
uang 20 baht, dan ketika nenek ingin memberikan kembaliannya aku menolak namun
nenek memaksa, “No you should accept this, you are student so you haven’t earn
money, don’t worry about me, Allah syahiid, He know the best for me, the same
as you, whatever you did don’t forget Allah look at you, kiraaman kaatibin,
He always noticed you, may allah eases you two...” saat itu aku benar-benar
“speechless” dengan nasehat dari nenek.
Aku kemudian
berterima kasih atas kebaikannya di hari jumat ini, hari yang paling mulia dalam Islam diantara
hari lainnya. Nenek uma bekerja di sebuah perusahaan kontainer di bang rak,
namun setiap jumat dia izin meliburkan diri untuk menjaga warung milik
keponakannya itu. Sebelum kami berpamitan nenek berpesan kepada kami, “Study
hard and pray hard, don’t forget about Allah, and intend every activity you did
because of Allah Himself....” kami mengangguk paham dan aku meminta untuk
berfoto dengan nenek, nenek pun mengiyakan sekaligus memberikan nomor kontaknya
kepada kami.
Ah sungguh
lingkungan sangatlah mempengaruhi kepribadian seseorang, lahir dan tumbuh di
peradaban yang islami ternyata membentuk pribadi yang luar biasa. Masjid
menjadi titik pusat yang menjiwai kampung Bang rak ini. Kata “rak” yang berarti
cinta menggambarkan pemandangan orang saling mencintai satu sama lain karena
Allah, terbukti ketika sesama muslim bertemu kenal atau tidak mereka tetap
menebarkan salam. Masyarakat pun menjual berbagai makanan yang varian, tidak
ada satu pun yang sama. Di kesempatan lain, aku akan menceritakan konsep bagi
rezeki di Thailand yang juga mengagumkan. Akhirnya, niat baik akan terus
mempertemukan dengan orang-orang yang baik seperti pesan ummi kepadaku. Dan aku
percaya, ada ribuan bahkan milyaran orang baik di dunia ini yang kebaikannya
terdengar oleh penduduk langit meski penduduk bumi tak menghiraukannya.
Komentar
Posting Komentar