Niat Baik di Bulan yang Baik
Malam itu memasuki
tanggal 10 Dzulhijah 1440 hijriah, ribuan bahkan milyaran manusia datang dengan
cinta mulai memasuki dataran Arafah, bukit bukti cinta-Nya. Dengan khusyuknya
wuquf tak henti-hentinya melafazhkan asma-Nya. Ada yang sebelumnya telah
mempersiapkan bekal, adapula yang sama sekali tak mempersiapkan apapun. Tak
peduli dinginnya angin malam, kerasnya kerikil dan bebatuan mereka rela
bermalam di padang manusia itu. Kain putih yang panjang seakan terhelai
menyelimuti seluruh penjuru bukit, dari ujung hingga ke ujung. Sehelai kain
yang akan menemani setiap manusia kelak untuk bertahan dalam gelapnya liang
lahat. Bahkan mungkin menjadi saksi atas amalannya dulu di bulan haji.
Ah benar, Idul
adha, qurban dan haji. Dua dimensi yang tak sama namun satu rasa. Rasa cinta
dan pengorbanan melengkapi keduanya. Seperti cinta seorang Ibrahim yang
dijawantahkan dalam bentuk pengorbanan serta cinta seorang Ismail yang ridho
menjadi yang dikorbankan. Berqurban jangan asal berqurban, berqurban dianjurkan
asal jangan menjadi korban cukup qurban. Karena hakikat pengorbanan bukan
menghilangkan nyawa seseorang, namun ia pembuktian rasa cinta, peningkatan rasa
taqwa. Berhaji bukan hanya soal menunaikan misi, namun ia menunaikan panggilan
Ilahi, menjadi manusia yang sejati.
Malam itu di
jalanan Phra pin Klao aku melihat terangnya rindu, rindu mendengar gema takbir
dan riuhnya gendang berdendang. Mungkin ini kali pertamanya dalam hidup,
berdiri di sebuah negeri tanpa ada sedikitpun pekik takbir yang menyelingi. Ah
mungkin terdengar lebay bagimu, namun rasa inilah yang justru ingin aku
ekspresikan kepadamu, bagaimana bila suatu saat suara itu benar-benar hilang
dari peradaban bumi ? sungguh aku tak mampu membayangkannya.
Hari itu Sabtu, 10
Agutus 2019/9 Dzulhijjah 1440 Hijriah, aku sudah berniat untuk berpuasa Arafah.
Kebiasaan berpuasa sunnah tanpa sahur mungkin telah melekat di pribadiku, cukup
air mineral saja. Satu hari hampir berlalu hingga waktu maghrib semakin dekat,
waktu Bangkok menunjukkan pukul 17:00 aku sudah bersiap mandi dan berganti
untuk mulai mencari menu buka puasa. Setiap negara memiliki jalur rotasi
perputaran matahari yang tidak sama, sehingga waktunya pun akan sedikit
berbeda. Waktu maghrib di kota ini jatuh pada pukul 18:46 ketika matahari
benar-benar tenggelam baru saja. Tentu hal itu mempengaruhi waktu Isya’nya
pula, yakni pukul 20:00.
“In syaa Allah
lee... dimanapun Galih berada, jika niat Galih baik niscaya akan dipertemukan
dengan orang-orang yang baik pula..” tiba-tiba aku teringat pesan Ummi sebelum
melangkah pergi meninggalkan apartemen yang aku huni. Memang betul, “Innamal
A’maalu binniyati wa innama likullimriin maa nawaa...” hadist pertama yang
dulu aku pelajari pesantren masih relevan untuk diaplikasikan dalam setiap
aktivitas, yakni kunci segala perbuatan ada pada niatnya. Maka perjalanan
mencari menu buka aku niatkan karena Allah sekaligus meng-akbarkan asma-Nya di
malam idul adha ini. Dengan mengantongi uang 100 bath, aku sudah siap untuk
membatalkan puasaku di hari arafah itu.
Langit jembatan
pin klao terlihat mendung seperti biasanya, cuaca disini memang tampaknya masih
dirundung mendung hingga akhir Agustus nanti. Jalanan sore seperti biasanya,
padat namun tak sampai merayap. Sambil berjalan aku terfikir juga akan shalat
Ied besok di KBRI Bangkok, yang aku fikirkan adalah bagaimana cara kesana
dengan biaya yang murah dan terjangkau, dan bus kota lah jawabannya. Sembari
menuju masjid terdekat, aku bersama temanku mencari bus stop terdekat untuk
besok, yaitu bus bernomor urut 3. Beruntungnya di dunia ini masih ada orang
sepintar Sundar Pichai, aplikasi google map yang dikembangkannya mengalahkan
kepintaran orang pada umumnya. Berkat aplikasi ini, kami sangat terbantu
kemanapun kami akan pergi. Google map lah yang mengarahkan kami, memberi tahu
kami bus mana yang harus dinaiki, hingga mengingatkan kami kapan kami harus
turun. Akhirnya aku menemukan bus stop itu, tertulis nomor 3 menuju national
library. Dari national library nantinya kami akan turun dan berganti ke bus
selanjutnya, bus nomor 505 menuju Plaza pantip 2. Dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia berada tepat di seberang bangunan megah mall itu. Akhirnya tenanglah
perasaaanku, masalah kendaraan untuk besok telah teratasi.
Waktu menunjukkan
pukul 18:30, artinya waktu maghrib semakin dekat. Maka aku dan temanku
memutuskan untuk sekedar membatal di masjid sekaligus shalat maghrib. Baru
nanti ba’da maghrib rencana kami akan memberi lauk, karena kami sudah memasak
nasi sebelumnya jadi cukup beli lauknya saja. Hingga adzan pun tiba, kami telah
bersiap duduk mendengarkannya di masjid. Aku membawa botol air minum, sehingga
cukup untukku dan temanku membatalkan puasa. Tak jauh dari tempat duduk kami,
sepasang suami-istri yang sudah cukup tua juga sedang membatalkan puasanya.
Seorang bapak kemudian mencolek temanku, “Pord chı̂ wạn thī̀ na...” (Ayo
silahkan diambil kurmanya)... ternyata bapak itu menyodorkan kurma kepada kami
karena tahu kami juga berpuasa. “Khob kun ma krap...” (terimakasih banyak
bapak...) ucap kami kepada si bapak.
Nikmatnya berbuka
tak terasa menyadarkan kami bahwa iqomah sudah berkumandang, lalu kami bergegas
untuk shalat. Seusai shalat maghrib, imam memimpin gema takbir, “Allahu
akbar, allahu akbar, allahu akbar, Laa ilaaha illallah huwallahu akbar, allahu
akbar walillahilhamd...” rindu akan kampung halaman seketika menyergap
perasaan ini. Setelah shalat jamaah berakhir, kami pun duduk sejenak di
pelataran masjid. Tiba-tiba pasangan suami-istri tadi datang menghampiri kami
berdua. Istrinya tahu kalau kami bukan orang Thailand lalu dia bertanya kepada
kami dengan bahasa inggris, “Are you two fasting today ?” lalu kami menjawab,
“Alhamdulillah we have..” kemudian si ibu memperkenalkan dirinya, namanya ibu
Saliyah dan suaminya bernama Abdur Rosyad atau dipanggil “sawad” dalam bahasa Thailand.
Mereka berasal dari Thailand selatan, Songhkla. Ibu Saliya bekerja sebagai
asisten dosen fisioterapi di sebuah universitas sedangkan suaminya yang
mengantarkannya. Si ibu lalu “memaksa” kami, “Okay, now both of you come with
us, we break the fasting together...” kemudian aku masih dengan perasaan yang
tak enak merepotkan mencoba menangggapi, “Thank you, but we will go... “ dan
ibu tetap mencegah kami, “No, before you go you should eat with us, don’t worry
I wil treat you..” akhirnya kami pun kalah dengan tawaran beliau.
Oiya, kami shalat
di masjid Chakapong, masjid yang terdekat dengan apartemenku. Tidak jauh dari
masjid tersebut, ada beberapa penjual muslim yang menjual makanan halal.
Sebenarnya kami sudah sering makan disitu, namun apalah daya kali ini kami
datang dengan kondisi yang berbeda yakni ditraktir. Sambil makan, aku mengobrol
dengan si ibu. Kami lebih banyak ngobrol dengan ibu saliyah karena beliau lebih
lancar dalam berbahasa inggris dibanding dengan suaminya. Aku mulai dengan
pertanyaan, “How many sons do you have ?” lalu dengan kalemnya si ibu menjawab,
“No.. we have no sons..” seketika aku langsung termenung, tak berani lagi untuk
bertanya. Dalam hati aku hanya bisa bergumam, “Ya allah bapak dan ibu ini sudah
cukup sepuh, mungkin usianya sudah 50-60 tahun namun belum memiliki anak, tapi
disisi lain mereka berdua begitu baik kepada kami Ya Allah....”. Ibu lalu
tersenyum sambil melanjutkan makannya tanpa mengerti apa isi hatiku. Aku tak
tahu bagaimana persisnya karakter orang Thailand, yang terlihat dalam
pandanganku hanyalah sebagian memang tulus dalam menolong, bahkan mereka sangat
terbuka dengan pertanyaan apapun termasuk pertanyaan yang menurut kita sebagai
orang Indonesia terdengar tidak mengenakkan.
Setelah makan,
kita lalu kembali ke masjid untuk menunaikan shalat Isya’. Di perjalanan, aku
melihat langkah kedua pasangan ini, melihat si bapak yang sepertinya tertatih
dalam membawa tasnya aku langsung membawakannya kedua tasnya. Kuamati
dalam-dalam raut wajah-wajah tulus itu sambil berdoa dalam hati, “Ya Allah,
jika kedua pasangan yang mengimani engkau ini sudah berdoa puluhan tahun
lamanya demi sebuah keturunan, mohon ya Allah di malam penuh takbir ini
kabulkanlah doanya, jadikanlah mereka keluarga yang melahirkan keturunan shalih
& shalihat, jauhkan keduanya dari siksa api neraka, lancarkanllah rezeki
keduanya, dan jauhkanlah keduanya dari segala marabahaya yang mengancam di
negerimu ini..”. Meski tak tampak, aku seakan mengerti kesedihan keduanya,
namun yang terlihat hanyalah ketulusan mereka. Harapan dan impian yang bersinar
dari sorot kedua matanya menunjukkan betapa inginnya mereka menimang-niman
seorang anak. Kami tak tahu mereka menganggap kami sebagai apa, namun kami
mengerti perasaan mereka terhadap kami, perasaan cinta seorang orangtua kepada
anaknya.
Setelah shalat
Isya’, kami bertemu lagi dengan ibu Saliyah dan bapak Rosyad, kami
berterimakasih sebesar-besarnya atas kebaikan keduanya, “May Allah bless you in
every your life and once may Allah answer your duu’aa as soon as possible...”
lalu aku memeluk keduanya dan kamipun berpisah. Di perjalanan temanku bertanya,
“Bro... ket wingi kok koyone awake dewe ketemu wong apek terus yo, wingi karo
uma saiki karo bapak-ibuke mau...” lalu dengan tersenyum aku teringat sebuah
pesan dan menjawab, “Yo ngene iki bro... nek niate dewe apek In syaa Allah
bakalan ditemokne karo wong-wong seng apek juga..” lalu kami pun pulang dengan
hati yang senang dan bersyukur. Senang karena uang yang kami bawa tidak
berkurang sedikitpun (haha) dan bersyukur karena Allah selalu mempertemukan
kami dengan orang-orang yang baik :D.
Keesokan harinya,
kami pun harus bersiap-siap menuju gedung KBRI Bangkok di daerah Petchburi
Jalan Ratchatewi. Strategi di hari sebelumnya yang telah kami siapkan telah
siap untuk digunakan. Namun sialnya, pagi itu kami agak kesiangan bangunnya.
Aku pribadi karena kacaunya pola tidurku yang waktu itu aku baru mulai tidur
pukul 02:45 karena nonton film semalam suntuk (jangan ditiru yaa :D). Sedangkan
temanku tidak bisa tidur semalaman karena kepanasan, sehingga ketika waktu pagi
tiba dia baru mulai terlelap. Sehingga rencana yang kita susun sebelumnya
sedikit berantakan. Sebenarnya kami sudah harus menaiki bus jam 6 pagi, namun
karena pada jam itu kami baru bangun maka jam 7 pagi kami baru naik bus.
Sedangkan shalat dimulai pukul 7:45 dan jarak apartemen ke KBRI tidaklah dekat bagi kami yang tidak memiliki kendaraan,
sekitar hampir 10 km!!. Tentu kami “gerobyakan” dengan ulah kami sendiri, tak
butuh waktu yang lama aku langsung mandi, lalu shalat subuh (please jangan
ditiru yaa..), dan berangkat menuju bus stop. Untuk menuju bus stop pun kami
harus jalan dahulu sejauh 1,5 km melewati jembatan pin klao. Ah.. kalau begini
aku akan berkeringat sampai KBRI, akhirnya aku hanya menggunakan kaos selama
perjalanan dan ketika sampai disana nanti baru aku akan menggunakan baju
taqwaku.
Kemudahan demi
kemudahan selalu kami dapati, tak butuh waktu yang lama bus nomor urut 3
langsung menghampiri kami. Untuk bus non-AC kami hanya cukup membayar 8 baht
atau sekitar 4 ribu rupiah, lalu bus berhenti tepat di depan national library
dan kami pun turun untuk berganti bus nomor 505. Alhamdulillah, tak terlalu
lama menanti bus datang dengan cepatnya menepi ke bus stop, pukul 07.15 kami
telah siap menuju KBRI yang hanya membutuhkan waktu 15 menit. Bus 505 ini
kebetulan ber-AC sehingga kami harus membayar 15 baht atau sekitar 7 ribu
rupiah. Karena Idul Adha jadi pada hari Ahad, lalu lintas jalanan Bangkok tidak
terlalu padat karena para pegawai tentu akan berlibur di hari itu. Sekali lagi
kemudahan bagi kami, berangkat di waktu yang kami fikir terlambat namun tiba
lebih cepat diluar dugaan. Sejurus kemudian bus telah sampai didepan Plaza
pantip 2, lalu kami turun dan “rumah” KBRI telah melambai-lambai di seberang
jalan sana.
Sembari
menyeberang, kumpulan orang-orang berbaju muslim, yang muslimah mengenakan
jilbab dan yang muslim mengenakan peci serasa mengubah jalanan depan KBRI saat
itu serasa kembali ke kampung halaman. Dua orang satpam berbadan tegap telah
berdiri menunggu kami di depan pintu gerbang KBRI, mereka memeriksa satu
persatu paspor yang kami bawa, memastikan bahwa kami adalah benar-benar orang
Indonesia. Tas kami dilewatkannya melalui sensor, sehingga kami baru bisa
benar-benar masuk ke halaman KBRI. Begitu masuk halaman, sebuah tembok bertuliskan,
“Kedutaan Besar Republik Indonesia Bangkok” terpampang dengan jelasnya
dipandangan kami. Seakan terobati sudah rindu akan Indonesia, atmosfer pagi itu
sungguh mempesona.
Shalat
dilaksanakan di Sport hall dan lapangan KBRI tepat di depan bangunan sekolah
Indonesia di bangkok, gema takbir bergemuruh di dalam KBRI, ratusan warga
Indonesia telah duduk rapi berkumpul untuk mengadakan shalat Ied. Aku pun mulai
mendekati tempat shalat dan membantu menggelar tikar yang telah disediakan oleh
panitia. Shalat Ied diimami oleh beliau Al-ustadz romli bin Abdulwahid dan yang
menjadi khatib adalah beliau Bpk. Prof. Dr. Mustari, M.Pd selaku atase
pendidikan dan kebudayaan KBRI Bangkok. Alhamdulillah, suasana shalat
berlangsung dengan khusyu’ dan khidmat, seperti halnya suasana di Indonesia,
selama khatib menyampaikan khutbahnya anak-anak kecil yang besar di negeri ini
berlari-lari namun tidak mengurangi sedikitpun kekhusyuan jamaah dalam
mendengarkan khutbah. Selesai khutbah, kami pun ikut bersalam-salaman bersama
dengan Bapak duta besar Indonesia untuk Bangkok, beliau Bpk. Ahmad Rusydi
beserta istri dan jajaran staff KBRI. Seusai bersalaman, KBRI mengadakan ramah
tamah untuk seluruh warga Indonesia, inilah yang dinanti-nanti masakan
Indonesia. Namun karena kita sedang berada di negara tetangga, akhirnya masakan
Indonesia pun telah “terkontaminasi” dengan rasa Thailand. Tetapi hal itu sama
sekali tidak mengecewakan kami sedikitpun, aku sangat bersyukur bisa merasakan
suasana ini untuk pertama kalinya di luar negeri, berkumpul dan bersama orang
yang sama-sama bertahan di negara lain.
Hari itu sungguh
menjadi hari yang spesial bagiku, suasana lebaran di Thailand. Mungkin akan
biasa bagi mereka yang telah lama tinggal disini, namun bagiku ini adalah
pengalaman yang mahal tak terkira. Aku harus mengabadikannya dalam kenanganku,
hingga kelak negeri ini akan terselip dalam setiap doaku. Dan yang paling
penting, di bulan yang baik ini Allah selalu memudahkan jalannya niat yang
baik, kebaikan selalu difasilitasi oleh Allah selama ia bukan hanya untuk kita
sendiri namun bermanfaat untuk orang lain. Akhirnya aku akan selalu menyadari
bahwa setiap perbuatan manusia akan dimudahkan sesuai dengan niatnya. Jika
seseorang berniat baik maka dia akan dituntun dengan yang baik-baik serta
bertambahlah kebaikan dalam dirinya. Dan sungguh Allah-lah yang mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui apa-apa (An-Nur:19).
Suasana wuquf di Padang Arafah |
Berfoto dengan Ibu Saliyah & Bapak Abdur Rosyad |
Berpose di depan KBRI Bangkok setelah shalat Ied |
The sweet gift from pi Mei (penjaga Apartment) |
Komentar
Posting Komentar